Pekbis
Jurnal, Vol.1, No.3, November 2009: 159-167
ETIKA & PROFESIONAL AKUNTAN PUBLIK
Mudrika
Alamsyah Hasan
Dosen
FE Universitas Riau
ABSTRAK
Tulisan ini
menguraikan tentang etika profesi akuntan publik yang merupakan karakteristik
dari suatu profesi yang membedakan dengan profesi yang lain dan yang berfungsi
mengatur tingkah laku para anggotanya. Profesi akuntan publik saat ini tengah
menghadapi berbagai sorotan tajam dari masyarakat, terlebih setelah terungkapnya
kasus manipulasi yang dilakukan perusahaan Enron yang merupakan tonggak pemicu
terjadinya krisis kepercayaan dalam profesi akuntan. Tulisan ini difokuskan
terutama untuk menjawab bagaimana peranan etika profesi dalam meningkatkan
kepercayaan masyarakat terhadap profesi akuntan publik. profesional bagi
akuntan publik adalah prilaku untuk bertanggung jawab terhadap profesinya, diri
sendiri, peraturan, undang-undang, klien, dan masyarakat termasuk para pemakai
laporan keuangan.
Key Words : Etika
profesional, akuntan publik
PENDAHULUAN
Dalam
menjalankan profesinya, seorang akuntan diatur oleh suatu kode etik akuntan.
Kode etik akuntan yaitu norma perilaku yang mengatur hubungan antara akuntan
dengan para klien, antara akuntan dengan sejawatnya, dan antara profesi dengan masyarakat.
Akuntan publik sebagai pihak yang bebas dan tidak memihak (independen )
dalam melakukan pemeriksaan yang objektif atas laporan keuangan dan menyatakan
pendapatnya atas kewajaran laporan keuangan, sangat diperlukan jasanya oleh
masyarakat pengguna laporan keuangan. Guna meningkatkan kepercayaan pemakai
jasa profesi akuntan publik sebagaimana layaknya yang mereka harapkan, maka
perlu adanya kode etik akuntan, termasuk kode etik bagi akuntan publik. Dengan
adanya kode etik, para akuntan publik dapat menentukan mana perilaku yang
pantas (etis) ia lakukan dan mana yang tidak
pantas (
tidak etis). Penetapan kode etik oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI)
sebagai satu-satunya organisasi profesi di Indonesia, merupakan upaya dalam rangka
penegakan etika, dalam hal ini khususnya bagi akuntan publik. Berkembangnya
profesi akuntan publik, telah banyak diakui oleh berbagai kalangan masyarakat.
Sedikit tidaknya masyarakat dunia usaha telah menggantungkan kebutuhan
bisnisnya dengan jasa akuntan publik. Seiring dengan perkembangan tersebut,
muncul pula suatu fenomena baru di tengah kehidupan bisnis masyarakat kita
akhir-akhir ini. Meskipun IAI sudah menetapkan kode etik bagi akuntan termasuk
akuntan publik, tetapi masih tetap ada pelanggaranpelanggaran etika. Adanya
pelanggaran-pelanggaran etika ini tentu saja menimbulkan krisis kepercayaan
terhadap profesi akuntan publik itu sendiri. Ini merupakan tantangan bagi
akuntan publik pada masa yang akan datang untuk tetap mempertahankan citra
profesinya di mata masyrakat. Oleh karena itu sudah sewajarnya diperlukan
penegakan etika bagi akuntan publik, terlebih lagi setelah munculnya krisis
kepercayaan tersebut. Dengan adanya penegakan etika, diharapkan mampu
menghilangkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap profesi akuntan publik.
Etika & Profesional Akuntan Publik
(Mudrika
Alamsyah Hasan)
Berdasarkan latar belakang
masalah di atas, maka dapat diidentifikasikan
beberapa masalah sebagai berikut.
1. Sejauhmana perlunya penegakan
etika bagi akuntan publik.
2. Faktor-faktor apa yang
berpengaruh terhadap penegakan etika akuntan publik.
3. Bagaimana tanggung jawab IAI dalam
upaya penegakan etika profesi akuntan, khususnya akuntan publik.
TINJAUAN
TEORITIS
Etika, Profesi
dan Peran Kode Etik
Di Indonesia etika diterjemahkan
menjadi kesusilaan karena sila berarti dasar, kaidah atau aturan,
sedangkan su berarti baik, benar dan bagus. Selanjutnya, selain kaidah
etika masyarakat juga terdapat apa yang disebut dengan kaidah profesional yang
khusus berlaku dalam kelompok profesi yang bersangkutan. Oleh karena merupakan
konsensus, maka etika tersebut dinyatakan secara tertulis atau formal dan
selanjutnya disebut “kode etik”. Sifat sanksinya juga moral psikologik, yaitu
dikucilkan atau
disingkirkan dari pergaulan kelompok profesi yang bersangkutan
(Arens :2008).
Chua et al, (dalam jurnal Riset
Akuntansi Indonesia, 2000), dalam konteks etika profesi, mengungkapkan bahwa
etika profesional juga berkaitan dengan perilaku moral. Dalam hal ini perilaku
moral lebih terbatas pada pengertian yang diliputi kekhasan pola etis yang
diharapkan untuk profesi tertentu. Dengan demikian, yang dimaksud etika dalam
konteks makalah ini adalah tanggapan atau penerimaan seseorang terhadap suatu
peristiwa moral tertentu melalui proses penentuan yang kompleks dengan
penyeimbangan pertimbangan sisi dalam (inner) dan sisi luar (outer)
yang disifati oleh kombinasi unik dari pengalaman dan pembelajaran dari masing-masing
individu, sehingga dia dapat memutuskan tentang apa yang harus dilakukannya
dalam situasi tertentu.
Keberadaan kode etik yang menyatakan
secara eksplisit beberapa kriteria tingkah laku yang khusus terdapat pada
profesi, maka dengan cara ini kode etik profesi memberikan beberapa solusi langsung
yang mungkin tidak tersedia dalam teori-teori yang umum. Di samping itu dengan
adanya kode etik, maka para anggota profesi akan lebih memahami apa yang
diharapkan profesi terhadap anggotanya. Kewajiban untuk mematuhi kode etik ini
berlaku untuk semua akuntan, termasuk
akuntan publik.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Sikap dan Perilaku Etis Akuntan Publik Griffin
dan Ebert (1998) mendefinisikan perilaku etis sebagai perilaku yang sesuai dengan
norma-norma sosial yang diterima secara umum sehubungan dengan tindakan-tindakan
yang bermanfaat dan yang membahayakan. Mc-Conell (dalam Nurhayati 1998),
menyatakan bahwa perilaku kepribadian merupakan karakteristik individu dalam
menyesuaikan diri dengan lingkungannya, karakteristik yang
dimaksud
meliputi : sifat, kemampuan, nilai, keterampilan, sikap serta intelegensi yang
muncul dalam pola perilaku seseorang. Jadi perilaku merupakan perwujudan atau
manifestasi karakteristik seseorang dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Dalam hubungannya dengan akuntan
publik, berdasarkan Jurnal Riset Akuntansi Indonesia (edisi 2001) menyatakan
bahwa ada beberapa faktor yang memungkinkan berpengaruh terhadap sikap dan
perilaku etis akuntan, termasuk
akuntan publik.
Faktor-faktor tersebut antara lain :
1.
Faktor
Posisi / Kedudukan.
Ponemon
(1990) menunjukkan bahwa semakin tinggi posisi / kedudukan di KAP ( dalam hal
ini Partner dan Manajer) cenderung memiliki pemikiran etis yang rendah,
sehingga berakibat pada rendahnya sikap dan perilaku etis mereka.
2.
Faktor
imbalan yang diterima ( berupa gaji / upah dan penghargaan /insentif)
Pada
dasarnya seseorang yang bekerja, mengharapkan imbalan yang sesuai dengan
pekerjaannya. Karena dengan upah yang sesuai dengan pekerjaannya, maka akan
timbul pula rasa gairah kerja yang semakin baik dan ada kecenderungan untuk
bekerja secara jujur disebabkan ada rasa timbal balik yang selaras dan
tercukupi kebutuhannnya. Selain gaji/upah, seseorang yang bekerja membutuhkan penghargaan
atas hasil karya yang telah dilakukan, baik penghargaan yang bersifat materil
maupun non materil. Jika ia mendapatkan penghargaan sesuai dengan karyanya maka
si pekerja akan berbuat sesuai aturan kerja dalam rangka menjaga citra
profesinya baik di dalam maupun diluar pekerjaannya .
3.
Faktor
Pendidikan (formal, nonformal dan informal)
Sudibyo
(1995 dalam Khomsiyah dan Indriantoro 1997) menyatakan bahwa pendidikan
akuntansi (pendidikan formal) mempunyai pengaruh yang besar terhadap perilaku
etis akuntan publik.
4.
Faktor
organisasional (perilaku atasan, lingkungan kerja, budaya organisasi, hubungan dengan
rekan kerja). Komitmen atasan merupakan wibawa dari profesi, bila atasan tidak memberi
contoh yang baik pada bawahan maka akan menimbulkan sikap dan perilaku tidak
baik dalam diri bawahan sebab ia merasa bahwa atasannya bukanlah pemimpin yang
baik (Anaraga 1998). Lingkungan kerja turut menjadi faktor yang mempengaruhi
etika individu. Lingkungan kerja yang baik akan membawa pengaruh yang baik pula
pada segala pihak, termasuk para pekerja, hasil pekerjaan dan perilaku di
dalamnya.
5.
Faktor
Lingkungan Keluarga
Pada
umumnya individu cenderung untuk memilih sikap yang konformis/ searah dengan
sikap dan perilaku orang-orang yang dianggapnya penting (dalam hal ini anggota
keluarga). Kecenderungan ini antara lain di motivasi oleh keinginan untuk
berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik. Jadi jika lingkungan
keluarga bersikap dan berperilaku etis, maka yang muncul adalah sikap dan
perilaku etis pula (Azwar 1998 : 32 ).
6.
Faktor
Pengalaman Hidup
Beberapa
pengalaman hidup yang relevan dapat mempengaruhi sikap etis apabila pengalaman
hidup tersebut meninggalkan kesan yang kuat. Apabila seseorang dapat mengambil
pelajaran dari pengalaman masa lalunya maka akan menumbuhkan sikap dan perilaku
yang semakin etis .
7.
Faktor
Religiusitas
Agama
sebagai suatu sistem, mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap karena ia
meletakkan dasar konsep moral dalam individu. Setiap agama mengajarkan konsep
sikap dan perilaku etis, yang menjadi stimulus dan dapat memperteguh sikap dan
perilaku etis.
8.
Faktor
Hukum (sistem hukum dan sanksi yang diberikan).
Kasir
(1998), berpendapat bahwa hukum yang berlaku pada suatu profesi hendaklah
mengandung muatan etika agar anggota profesi merasa terayomi. Demikian halnya
dengan sanksi yang dikenakan harus tegas dan jelas sehingga anggota cenderung
tidak mengulang kesalahan yang sama dalam kesempatan yang berbeda.
9.
Faktor
Emotional Quotient (EQ).
EQ
adalah bagaimana seseorang itu pandai mengendalikan perasaan dan emosi pada
setiap kondisi yang melingkupinya. EQ lebih penting dari pada IQ. Bagaimanapun
juga seseorang yang cerdas bukanlah hanya cerdas dalam hal intelektualnya saja,
tetapi intelektualitas tanpa adanya EQ dapat melahirkan perilaku yang tidak
etis (Goleman, 1997). Berdasarkan faktor-faktor di atas dapat disimpulkan bahwa
sikap akan menentukan warna atau corak tingkah laku seorang untuk berperilaku
etis dan tidak etis.
Upaya Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) Terhadap Penegakan Etika Akuntan Publik.
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI)
sebagai satu-satunya organisasi profesi akuntan di Indonesia telah berupaya
untuk melakukan penegakan etika profesi bagi akuntan publik. Untuk mewujudkan
perilaku profesionalnya, maka IAI menetapkan kode etik Ikatan Akuntan
Indonesia. Kode etik tersebut dibuat untuk menentukan standar perilaku bagi
para akuntan, terutama akuntan publik (Arens :2008).
Al-Haryono Yusuf (2001) menyatakan
bahwa kode etik Ikatan Akuntan Indonesia sebagaimana ditetapkan dalam kongres
VIII Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) di Jakarta pada tahun 1998, terdiri dari.
1.
Prinsip
Etika
Terdiri
dari 8 prinsip etika profesi, yang merupakan landasan perilaku etika profesional,
memberikan kerangka dasar bagi aturan etika, dan mengatur pelaksanaan pemberian
jasa profesional oleh anggota, yang meliputi: tanggung jawab profesi,
kepentingan publik, integritas, objektivitas, kompetensi dan kehati-hatian
profesional, kerahasiaan, perilaku profesional, dan standar teknis.
2.
Aturan
Etika Kompartemen Akuntan Publik
Terdiri
dari independen, integritas dan objektivitas, standar umum dan prinsip
akuntansi, tanggung jawab kepada klien, tanggung jawab kepada rekan seprofesi,
serta tanggung jawab dan praktik lain.
3.
Interpretasi
Aturan Etika.
Interpretasi
aturan etika merupakan panduan dalam menerapkan etika, tanpa dimaksudkan untuk
membatasi lingkup dan penerapannnya. Di Indonesia, penegakan kode etik
dilaksanakan oleh sekurang-kurangnya enam unit organisasi, yaitu: Kantor
Akuntan Publik, Unit Peer Reiew Kompartemen Akuntan Publik-IAI, Badan Pengawas
Profesi Kompartemen Akuntan Publik-IAI, Dewan Pertimbangan Profesi-IAI,
Departemen Keuangan RI, dan BPKP. Selain keenam unit organisasi tadi,
pengawasan terhadap kode etik diharapkan dapat dilakukan sendiri oleh para
anggota dan pimpinan KAP. Meskipun telah dibentuk unit organisasi penegakan
etika sebagaimana disebutkan di atas, namun demikian pelanggaran terhadap kode
etik ini masih ada. Berdasarkan laporan Dewan Kehormatan dan Pengurus Pusat IAI
dalam kongres IAI, pelanggaran terhadap kode etik dan sengketa secara umum
meliputi sebagai berikut :
a.
Kongres
V (1982-1986), meliputi: publikasi, pelanggaran obyektivitas dan komunikasi.
b.
Kongres
VI (1986-1994), meliputi: publikasi, pelanggaran obyektivitas dan komunikasi.
c.
Kongres
VII (1994-1994 ), meliputi: standar teknis, komunikasi dan publikasi.
d.
Kongres
VIII (1990-1994), meliputi: obyektivitas, komunikasi, standar teknis dan kerahasiaan.
Berdasarkan
pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa meskipun IAI telah berupaya
melakukan penegakan etika profesi bagi akuntan, khususnya akuntan publik, namun
demikian sikap dan perilaku tidak etis dari para akuntan publik masih Tetap
ada. Hal ini terlihat dari laporan Dewan Kehormatan IAI untuk tiap-tiap periode
selalu menunjukkan adanya kasus pelanggaran etika.
Kasus : Audit Bank
Saat ini para auditor independen
sejumlah bank bermasalah diajukan ke Badan Peradilan Profesi Akuntan Publik (BP2AP)
IAI (Ikatan Akuntan Indonesia). Vonis dari badan ini, apabila berupa sanksi pemberhentian
sementara atau tetap, otomatis berpengaruh terhadap izin praktek yang
dikeluarkan oleh Menkeu.
Salah satu persyaratan izin praktek
adalah keharusan sebagai anggota IAI. Kalau keanggotaannya diberhentikan
sementara, otomotis Menkeu juga akan memberhentikan sementara yang
bersangkutan. Sejauh ini memang belum pernah ada sanksi sampai pencabutan
keanggotaan. Hal ini karena belum ada kasus yang sedemikian berat. Namun,
sanksi pemberhentian sementara sudah cukup sering dikeluarkan.
Sementara itu sepuluh akuntan publik
belum lama ini telah diberi sanksi peringatan oleh pihak Departemen Keuangan
RI. “Hasil evaluasi menunjukkan bahwa ada 10 akuntan publik yang melanggar standar
audit dan kepada mereka telah digunakan sanksi peringatan”.
Depkeu dapat memberikan sanksi
peringatan, pembekuan izin, dan pencabutan izin kepada akuntan publik dan
kantor akuntan publik (KAP). Sanksi peringatan dikenakan sebanyak tiga kali
berturut-turut dengan selang waktu maksimal enam bulan. Setelah peringatan
ketiga tidak ada perbaikan dalam waktu sebulan, jatuh sanksi pembekuan izin.
Jika penyebab dari sanksi pembekuan izin tidak juga diatasi sampai berakhirnya
sanksi, izin akuntan publik dan atau KAP bersangkutan dicabut.
Tindakan yang diambil baik oleh
BP2AP maupun Depkeu itu merupakan tindak lanjut atas “ribut-ribut”nya ICW (Indonesian
Corruption Watch). ICW menemukan adanya berbagai pelanggaran yang dilakukan
oleh para akuntan publik tatkala mengaudit bank-bank bermasalah untuk tahun
buku 1995, 1996, dan 1997. Ada 10 KAP yang melakukan audit terhadap 36-dari
38-bank yang kemudian dibekukan kegiatan usahanya (BBKU).
Dari hasil pengolahan data yang
diberikan oleh ketua tim investigasi ICW, Agam Fatchurrochman, bisa
disimpulkan, antara lain, bahwa hampir semua ( 9 KAP) tidak melakukan pengujian
yang memadai atas suatu rekening, dokumentasi audit pada umumnya kurang memadai
(7 KAP), dan ada satu auditor yang tidak paham peraturan perbankan tetapi
menerima penugasan audit terhadap bank.
PEMBAHASAN
Pada Bab ini, penulis melakukan
pembahasan mengenai kasus yang ada pada point no. 2.4 yaitu tentang “ Audit
Bank”. Adapun uraian pembahasan berdasarkan kepada latar belakang masalah dan
tinjauan teoritis yang ada pada Bab II. Dengan pembahasan kasus ini, nantinya
akan membantu menjawab permasalahan yang ada pada identifikasi masalah.
Etika menjadi kebutuhan penting bagi
semua profesi yang ada, termasuk profesi akuntan, khususnya akuntan publik.
Dalam kaitannya dengan profesi, etika tersebut mencakup prinsip perilaku untuk
orang-orang profesional yang dirancang baik untuk tujuan praktis maupun untuk
tujuan idealistis.
Di samping itu, kode etik tersebut
akan berpengaruh besar terhadap reputasi serta kepercayaan masyarakat pada
profesi yang bersangkutan. Jika anggota profesi seperti para akuntan publik,
menjalankan kode etik sesuai dengan yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan
Indonesia (IAI) dalam aturan etika kompartemen akuntan publik, penulis yakin dengan
sepenuhnya tidak akan ada lagi penilaian dari masyarakat yang akhir-akhir ini
menuduh akuntan sebagai penyebab terjadinya
krisis ekonomi
(Media Akuntansi : 1999). Adanya tuduhan tersebut tentu saja menimbulkan
berbagaai respon dikalangan masyarakat, ada yang pro dan ada yang kontra.
Terlepas dari pro dan kontra, kalau seandainya kita mau mengintrospeksi diri
masing-masing, akan mencoba melihat realita. Yang jelas kalau sudah adanya tuduhan
seperti itu terhadap akuntan publik, tanpa memandang fakta itu valid atau tidak
seperti yang dikemukakan pada Media Akuntansi tersebut, sedikit tidaknya masyarakat
sudah mulai kurang percaya terhadap mutu pekerjaan akuntan, termasuk akuntan
publik. Kalau fenomena seperti ini sudah ada, ini tentu seharusnya menjadi
bumerang bagi para akuntan, khususnya akuntan publik. Sebenarnya adanya krisis
kepercayaan ini sungguh tidak kita harapkan. Tetapi kita juga harus bisa
menyadari, bahwa masyarakat pengguna jasa lah yang menilai kita.
Melihat kasus yang menimpa 10
akuntan publik seperti yang diberitakan oleh Warta Ekonomi (edisi 13 Agustus
2001), itu merupakan suatu bukti bahwa tuduhan masyarakat selama ini terhadap
mutu pekerjaan akuntan benar adanya, berdasarkan hasil evaluasi menunjukkan
bahwa ada 10 akuntan publik yang melanggar standar audit dan kepada mereka
telah dikenakan sanksi peringatan.
Kasus tersebut walaupun menimpa
sebagian akuntan publik, tapi sudah mencemarkan profesi akuntan publik itu
sendiri. Berkaitan dengan etika, akuntan publik juga dituntut untuk mempunyai
rasa tanggung jawab dalam memberikan pendapat tentang kewajaran laporan
keuangan yang sesuai dengan prinsip akuntansi yang diterima umum. Dalam
memberikan pendapat atau menolak untuk memberikan pendapatnya, akuntan publik
harus berpedoman pada standar auditing
yang ada.
Berdasarkan kasus yang ada, masyarakat sudah kurang percaya denganopini yang diberikan
akuntan publik. Hal ini cukup beralasan sekali, setelah akuntan mengeluarkan
opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap bank-bank yang bermasalah,
tidak lama sejumlah bank tersebut ada yang dilikuidasi. Isu tersebut dilemparkan
sedemikian rupa, seolah-olah akuntan publik dari semua bank tersebut bermasalah.
Kalau kita mau jujur, sebenarnya kesalahan itu tidak sepenuhnya ada pada
akuntan publik. Karena secara logika, tidak mungkin akuntan publik mempunyai
peran yang begitu hebat bisa menghancurkan bank. Padahal pekerjaan akuntan
publik itu cuma melakukan pemeriksaan, dan dari hasil pemeriksaan itu kemudian
memberikan opini, apakah laporan keuangan yang disusun perusahaan sudah sesuai
dengan standar yang berlaku. Kita harus menyadari bahwa laporan keuangan itu
adalah tanggung jawab manajemen. Akuntan publik hanya mengecek apakah laporan
keuangannya sudah disajikan secara benar.
Menurut penulis kepercayaan
masyarakat terhadap akuntan kita, baik oleh pemerintah maupun aparat-aparatnya,
atau profesi-profesi lainnya, memang rendah. Dari sisi kemampuan dan keahlian
para akuntan publik lokal tidaklah jelek, sebab masalah sebenarnya adalah
mental. Kita tidak bisa menyatakan bahwa akuntan publik itu bagus semua,
memiliki etika semua. Karena yang namanya akuntan publik hidup dalam lingkungan
yang berlumpur sudah tentu berlumuran juga. Tapi jangan dikatakan bahwa seluruh
akuntan publik jelek.
Kembali lagi kepada permasalahan
krisis kepercayaan ini, adanya isu-isu selama ini yang oleh pihak akuntan
mengatakan bahwa ini merupakan kambing hitam oleh pihak lain terhadap akuntan
publik, merupakan tantangan bagi akuntan publik pada masa yang akan datang
untuk membuktikan mereka sudah bekerja sesuai dengan etika profesi.
Akhirnya semua ini akan tergantung
kepada akuntan itu sendiri secara individu. Bagaimana kesiapan mental yang
harus dimiliki di tengah gunjang-ganjing krisis kepercayaan masyarakat terhadap
mutu pekerjaan akuntan publik ini. Sudah sewajarnya masing-masing akuntan
publik itu dapat mengukur sejauh mana ia sudah berperilaku etis, sehingga ia
tetap dapat eksis di tengah-tengah masyarakat.
Mengingat begitu pentingnya etika,
maka dalam rangka penegakan etika akuntan publik kita perlu mengetahui
faktor-faktor apa sebenarnya yang berpengaruh terhadap penegakan etika
tersebut. Dengan demikian kita tidak akan langsung menuduh siapa yang salah dan
siapa yang tidak. Berbagai faktor yang bisa mempengaruhi etika individu seorang
akuntan publik di Indonesia, seperti:
penegakan hukum,
kode etik yang dibuat oleh IAI, sistem pengendalian mutu, kurikulum pendidikan
etika, sertifikasi etika bagi akuntan publik, pendidikan profesi berkelanjutan,
review teman sejawat dan kualitas, seminar etika, penelitian etika terpublikasi,
pembuatan buku-buku etika dan penegakan etika dalam kantor akuntan publik.
Berkaitan dengan upaya penegakan
etika, sebenarnya IAI sudah berusaha melakukan berbagai upaya, termasuk salah
satunya yaitu menetapkan kode etik. Tetapi walaupun sudah ada kode etik, tetap
saja ada pelanggaran-pelanggaran etika. Hal ini memang tidak bisa dipungkiri
lagi. Menurut penulis, kesalahan tersebut sebenarnya ada karena kesalahan
sistem. Kesalahan tersebut akan menimpa diri pribadi akuntan publik itu sendiri
maupun IAI beserta perangkatperangkatnya
sebagai
organisasi profesi.
Kesalahan pertama, pendidikan di
Indonesia selama ini terlalu menekankan arti pentingnya nilai akademik dan
kecerdasan otak saja. Pengajaran tentang integritas, kejujuran, komitmen dan
keadilan diabaikan, sehingga terjadilah krisis ekonomi, krisis moral dan krisis
kepercayaan. Di Indonesia, masyarakat baru sadar tentang pentingnya perilaku
etis (etika profesi) setelah terjadinya krisis ekonomi, krisis moral dan
krisis kepercayaan. Karena kesalahan sistem pendidikan inilah,
walaupun secara
profesi IAI sudah bertanggung jawab penuh dengan menetapkan kode etik, tetap
saja secara individu akuntan publik itu bisa berperilaku tidak etis karena
sistem pendidikan secara mendasar sudah salah, oleh karena itu diharapkan pada
masa yang akan datang IAI- Kompartemen Akuntan Publik dapat bekerja sama lebih
baik lagi dengan Kompartemen Akuntan Pendidik dalam membuat kurikulum,
pendidikan etika harus mendapatkan porsi yang lebih besar. Selain itu juga
diupayakan untuk melaksanakan pendidikan profesi berkelanjutan, dalam rangka
meningkatkan kompetensi dan memahami tentang standar-standar auditing yang baru
termasuk etika profesi. Seperti kasus audit bank bermasalah,
Etika & Profesional Akuntan
Publik
(Mudrika Alamsyah Hasan)
berdasarkan laporan ICW ada satu
auditor yang tidak paham peraturan perbankan tetapi menerima penugasan audit
terhadap bank. Hal ini tentu saja melanggar etika. Karena seorang akuntan
publik harus melaksanakan penugasan berdasarkan kompetensinya. Kalau akuntan
publik itu tidak paham tentang peraturan perbankan, sebaiknya ia tidak menerima
penugasan. Lebih baik akuntan publik itu mengundurkan diri dari penugasan. Dan
ini bukan merupakan suatu hal yang tidak wajar. Akan tetapi lebih bijaksana
dari pada ia menerima penugasan, tetapi tidak paham tentang hal penugasan itu,
sehingga dalam praktiknya terjadi pelanggaran (malpraktik). Ini
merupakan kesalahan fatal, yang menyebabkan jatuhnya reputasi KAP-nya khususnya
, dan IAI pada umumnya.
Kesalahan kedua, penegakan hukum
masih lemah dan tumpang tindih. Kalau melihat dasar hukumnya, sebenarnya sudah
cukup kuat, kalau memang hasil kerja akuntan publik merugikan suatu pihak, bisa
dilakukan tuntutan secara perdata. Jadi ada sanksi profesi karena pelanggaran
terhadap etika profesi. Sampai saat ini, baik Depkeu maupun IAI sendiri belum
menerapkan sanksi yang berat. Alasannya karena belum ada kasus yang sedemikian
berat. Namun sanksi pemberhentian sementara sudah cukup sering dikeluarkan.
Menurut penulis, karena sanksi yang ringan inilah, membuat para akuntan publik
tidak jera-jera melakukan kesalahan. Sehingga selalu saja ada pelanggaran.
Kalau pelanggaran yang dilakukan oleh anggota IAI belum sedemikian berat, lalu
apa sebenarnya yang menjadi tolak ukur ringan atau beratnya suatu kasus
pelanggaran? Jadi menurut penulis masalah
penegakan hukum
masih lemah, sebaiknya Depkeu maupun IAI perlu menindak tegas terhadap akuntan
publik yang jelas-jelas melanggar etika. Tentu saja penegakan hukum yang kita
inginkan adalah yang sesuai dengan prosedural dan hendaknya dirancang suatu
dasar hukum yang berat (tegas) sehingga orang menjadi tidak berani melanggar
atau bermain-main dengan peraturan.
Di samping masih lemahnya penegakan
hukum, juga masih terlihat adanya tumpang tindih dalam proses penyelesaian
pelanggaran etika, padahal secara prosedural sistemnya sudah bagus (tidak
overlapping). Tetapi dalam prakteknya tidak demikian. Hal ini seperti dalam
kasus audit bank yang sedang dibahas ini. IAI sudah mengatakan kalau pihak
Depkeu melihat keragu-raguan, kecurigaan dalam pekerjaan audit, seharusnya
masalahnya dibawa ke lembaga profesi (IAI) dan akan diproses. Namun Depkeu
tidak bersedia. Baru setelah kasus timbul, setelah ICW ribut, dilimpahkan ke IAI.
Dalam pandangan IAI , ada beberapa kelemahan dalam ketentuan perizinan KAP,
terutama menyangkut sanksi yang dibuat oleh Menkeu. Kelemahannya sedemikian
rupa sehingga diragukan apakah Menkeu mempunyai wewenang untuk langsung
memberikan sanksi berat. Pemberian sanksi inipun menjadi perdebatan tersendiri
di Depkeu.
Sementara itu ICW menilai, selama
ini Kompartemen Akuntan Publik IAI kerap cuma memberikan sanksi berupa
peringatan tertulis. Padahal, mereka bisa mengeluarkan auditor dari
keanggotaan. Begitu pula pihak Ditjen Lembaga Keuangan Depkeu.
Oleh karena itu untuk mengantisipasi
masalah ini lebih jauh, IAI sedang membuat suatu progam untuk melakukan
pemeriksaan-pemeriksaan dengan harapan akuntan publik bakal menyadari bahwa
kalau dia melanggar peraturan atau melakukan sesuatu yang tidak benar,
kemungkinan untuk diketahui besar.
Menurut
penulis, yang penting ada pengaduan. Di Indonesia kerap terjadi pihak yang
dirugikan cuma berkoar-koar memberi pernyataan sana-sini, tetapi tidak pernah
laporan. Sejauh ini IAI belum bisa proaktif. Yang jelas, selama akuntan publik
sudah melaksanakan tugasnya sesuai SPAP, maka yang bersangkutan terbebas dari
sanksi apapun. Jika diberi sanksi, ini bisa diartikan bahwa akuntan publik
lalai dalam melaksanakan SPAP. Yang pasti, BP2AP sedang meneliti
pekerjaan para akuntan publik
yang melanggar etika dalam kasus audit bank. Badan ini butuh waktu untuk
memperoleh data dari BPKP. Seandainya akuntan publik yang dikenai sanksi merasa
tidak puas, dia bisa melakukan banding ke Majelis Kehormatan. Apapun keputusan
yang ditetapkan oleh Majelis Kehormatan, sifatnya final.
PENUTUP
Berdasarkan
pembahasan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa:
1.
Etika
profesi mendapat tempat yang sangat istimewa dan mendasar bagi kehidupan profesional
seseorang akuntan. Sistem yang tidak dapat ditawartawar dan harus dikembangkan
adalah prinsip independen, objektif dan due profesional care.
2.
Penegakkan
etika profesional merupakan kunci untuk memberikan kepercayaan kepada masyarakat
terhadap jasa yang diberikan oleh akuntan publik, apabila etika profesi yang
menjadi landasan bagi akuntan publik tidak dijalankan semestinya maka akan
berdampak kepada munculnya masalah berupa ketidakpercayaan masayarakat terhadap
jasa profesional yang diberikan.
3.
Penegakan
etika bagi akuntan publik yang lebih baik lagi merupakan suatu tantangan yang
berat baik bagi IAI sendiri maupun anggotanya (dalam hal ini akuntan publik)
pada masa yang akan datang sehubungan dengan adanya krisis kepercayaan terhadap
mutu pekerjaan akuntan publik.
4.
Penegakan
etika akuntan publik masih terkendala dalam pelaksanaannya karena adanya kesalahan sistem pendidikan,
lemahnya penegakan hukum dan adanya tumpang tindih dalam praktek penyelesaian
pelanggaran, yang seharusnya tidak terjadi.
5.
IAI
selaku organisasi profesi terus berusaha menciptakan suatu terobosan baru dalam
upaya penegakan etika sesuai dengan tuntutan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Arfan Ikhsan Lubis dan ayu
Oktaviani, 2003, Upaya Memperbaiki Kemerosotan Citra Akuntan, Edisi 32 April, Media Akuntansi, PT. Intama
Artha Indonesia
Arens, Alvin A. Randal J.Elder,
Mark S.Beasley, 2008. Auditing and Assurance Services and ACL Software. 12 th Edition. New
Jersey : Prentice Hall.
Jusuf, Al Haryono, 2001. Auditing
(Pengauditan), Cetakan Pertama, Bagian Penerbitan STIE – YKPN, Yogyakarta 2001
Ikatan Akuntan Indonesia, 2000. Jurnal
Riset Akuntansi Indonesia, Jakarta, Edisi Juli 2000,
_____________, 2001 Kumpulan
Artikel Dan Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Jakarta, edisi 2001
Warta Ekonomi,2001. Audit Bank,
Jakarta,Edisi 13 Agustus 2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar